Kusak-kusuk isu itu mulai menyebar, tepatnya tahun
1924. Kelompok-kelompok diskusi pesantren tak luput selalu membedahnya. Taswirul
afkar, subanul Wathan, Nahdlatul Wathan, adalah pegiat-pegiat diskusi. Para Ulama
pesantren juga khawatir, kalau-kalau peristiwa itu terjadi, kaum muslimin
indonesia dalam kondisi waspada terutama terhadap amaliyah ahlussunah yang
sudah mengakar, dan dari dulu tidak ada masalah. Dimana Wali Sanga selaku penyebar
islam di tanah Jawa, pun memberi lampu hijau dan terus mengamalkan
tradisi-tradisi ahlussunah wal jama'ah. Karena Wali Sanga jugalah yang
mendesain dan menyusun trategi dakwah serta merumuskan model islam yang benar sesui
dengan kebudayaan lokal, dengan tetap berpijak pada kemurnian tauhid, bahwa
Allah SWT sebagai pusat edar setiap gerak-gerik kehidupan.
Desas-desus itu mulai memanas ketika Muhammadiyah
selaku organisasi islam kemasyarakatan yang di didirkan KH. Ahmad dahlan tahun
1912 mendelegasikan beberapa tokohnya untuk mengikuti, yakni konggres Alim Ulama
Dunia di Hejazz. Setelah Ibnu Saud berhasil mengkudeta Syarif Husain (berfaham
suni) selaku Raja Hejaz. Ibnu Saud (berfaham wahabi) menyerukan pemurnian islam,
yang menganggap sebagaian tradisi ahlussunah wal jama'ah sebagai momok yang mesti
di enyahkan. Di Kenal dengan istilah TBC (tahyul, bid'ah, dan churafat) yang
akan di kongreskan pada kaum muslimin sedunia. Di kira soal TBC adalah masalah
puncak yang menjadi sebab keterbelakangan islam. Mereka memejamkan mata dengan
masalah neoliberalisme, kapitalisme, dan hedonisme, individualisme yang
cengkraman dan mengobrak-abrik tatanan dunia. Muhammadiah dan SI (serikat
islam) sebagai organisasi modern pada waktu itu mempunyai respon yang positif.
Di lain pihak para ulama pesantren merasakan panas
dingin membayangkan akan bahayanya. Karena bagaimanapun Hejaz tempat Mekah
berada, merupakan kota suci islam untuk menunaikan rukun islam kelima, dimana
umat islam mayoritas berfaham suni. Kekhawatiran juga di rasakan pada
tradisi-tradisi islam di Indonesia yang telah di rintis para mubaligh, termasuk
di Jawa. Akhiranya para ulama pesantren merapat dan berkumpul di masjid tebu ireng
Jombang, pada akhirnya memutuskan mendirikan jamiyah islamiyah Nahdatul Ulama
yang di singkat NU tepatnya tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. KH Hasyim
Asy'ari sebagai pendiri utama, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai penggerak
utama, KH. Ridwan Abdullah sebagai pencipta gambar, dan KH Mas Alwi Abdul Aziz
sebagai pengagas nama NU.
Pada konggres islam sedunia tahun 1926 NU mengutus
KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH Khalil Mas’udi, dan syeh Ahmad Ghanaim al Misri
untuk mendesak agar Ibnu Saud tetap menghormati amalan ahlussunah wal jama'ah
di indonesia. Seperti tahlil, qunut, ziarah, maulid Nabi, khaul dll., yang
notabene dianggap TBC oleh paham wahabi.
Setelah NU berdiri, segera dibentuklah
pengurus-pengurus sampai tingkat ranting. Pesantren sebagai basis dan pertahanan
NU berlaku menjadi media komunikasi yang efektif sehingga dalam tahun yang sama
organisasi NU sudah menyebar ke berbagai penjuru nusantara termasuk Kabupaten Wonosobo,
Jawa Tengah.
NU di Wonosobo berdiri pada rintisan pertama, yang
berlangsung tahun 1926-1933M. Program kerja awalnya memantapkan dan
memperkenalkan NU keluar daerah. Pada pendirian NU di Kabupaten Wonosobo di
hadiri utusan HBNU (hooft Beestur Nahdlatoel Oelama) saat itu yakni KH Abdul
Wahab Hasbullah yang melantik kepengurusan NU Wonosobo pertama Sayyid Ibrahim sebagai Syuriah dan Atmodimejo sebagai Tanfidliyah. Diantara
kepengurusan NU pertama Cabang Wonosobo ada yang bernama KH. Sangidun, yang
berasal dari desa Kreo Kecamatan Kejajar, ini dibuktikan dengan KTA (kartu
tanda anggota) dirinya sebagi pengurus PCNU priode
1926-1933 di kantor PCNU Kabupaten Wonosobo.
KH. Sangidun merupakan satu-satunya tokoh NU pertama dari
kecamatan Kejajar , yang menjadi pengurus NU priode
1926-1933.
Rujukan
Antologi NU, H. Sulaiman Fadeli
NU studies, ahmad baso
NU Wonosobo dari masa ke masa, A. Muzan
islam bumi khayangan dieng, Nurul Mubin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar