Senin, 10 November 2014

NU PERTAMA DI KECAMATAN KEJAJAR, KABUPATEN WONOSOBO




Kusak-kusuk isu itu mulai menyebar, tepatnya tahun 1924. Kelompok-kelompok diskusi pesantren tak luput selalu membedahnya. Taswirul afkar, subanul Wathan, Nahdlatul Wathan, adalah pegiat-pegiat diskusi. Para Ulama pesantren juga khawatir, kalau-kalau peristiwa itu terjadi, kaum muslimin indonesia dalam kondisi waspada terutama terhadap amaliyah ahlussunah yang sudah mengakar, dan dari dulu tidak ada masalah. Dimana Wali Sanga selaku penyebar islam di tanah Jawa, pun memberi lampu hijau dan terus mengamalkan tradisi-tradisi ahlussunah wal jama'ah. Karena Wali Sanga jugalah yang mendesain dan menyusun trategi dakwah serta merumuskan model islam yang benar sesui dengan kebudayaan lokal, dengan tetap berpijak pada kemurnian tauhid, bahwa Allah SWT sebagai pusat edar setiap gerak-gerik kehidupan.

Desas-desus itu mulai memanas ketika Muhammadiyah selaku organisasi islam kemasyarakatan yang di didirkan KH. Ahmad dahlan tahun 1912 mendelegasikan beberapa tokohnya untuk mengikuti, yakni konggres Alim Ulama Dunia di Hejazz. Setelah Ibnu Saud berhasil mengkudeta Syarif Husain (berfaham suni) selaku Raja Hejaz. Ibnu Saud (berfaham wahabi) menyerukan pemurnian islam, yang menganggap sebagaian tradisi ahlussunah wal jama'ah sebagai momok yang mesti di enyahkan. Di Kenal dengan istilah TBC (tahyul, bid'ah, dan churafat) yang akan di kongreskan pada kaum muslimin sedunia. Di kira soal TBC adalah masalah puncak yang menjadi sebab keterbelakangan islam. Mereka memejamkan mata dengan masalah neoliberalisme, kapitalisme, dan hedonisme, individualisme yang cengkraman dan mengobrak-abrik tatanan dunia. Muhammadiah dan SI (serikat islam) sebagai organisasi modern pada waktu itu mempunyai respon yang positif.

Di lain pihak para ulama pesantren merasakan panas dingin membayangkan akan bahayanya. Karena bagaimanapun Hejaz tempat Mekah berada, merupakan kota suci islam untuk menunaikan rukun islam kelima, dimana umat islam mayoritas berfaham suni. Kekhawatiran juga di rasakan pada tradisi-tradisi islam di Indonesia yang telah di rintis para mubaligh, termasuk di Jawa. Akhiranya para ulama pesantren merapat dan berkumpul di masjid tebu ireng Jombang, pada akhirnya memutuskan mendirikan jamiyah islamiyah Nahdatul Ulama yang di singkat NU tepatnya tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. KH Hasyim Asy'ari sebagai pendiri utama, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai penggerak utama, KH. Ridwan Abdullah sebagai pencipta gambar, dan KH Mas Alwi Abdul Aziz sebagai pengagas nama NU.

Pada konggres islam sedunia tahun 1926 NU mengutus KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH Khalil Mas’udi, dan syeh Ahmad Ghanaim al Misri untuk mendesak agar Ibnu Saud tetap menghormati amalan ahlussunah wal jama'ah di indonesia. Seperti tahlil, qunut, ziarah, maulid Nabi, khaul dll., yang notabene dianggap TBC oleh paham wahabi.

Setelah NU berdiri, segera dibentuklah pengurus-pengurus sampai tingkat ranting. Pesantren sebagai basis dan pertahanan NU berlaku menjadi media komunikasi yang efektif sehingga dalam tahun yang sama organisasi NU sudah menyebar ke berbagai penjuru nusantara termasuk Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

NU di Wonosobo berdiri pada rintisan pertama, yang berlangsung tahun 1926-1933M. Program kerja awalnya memantapkan dan memperkenalkan NU keluar daerah. Pada pendirian NU di Kabupaten Wonosobo di hadiri utusan HBNU (hooft Beestur Nahdlatoel Oelama) saat itu yakni KH Abdul Wahab Hasbullah yang melantik kepengurusan NU Wonosobo pertama Sayyid Ibrahim sebagai Syuriah dan Atmodimejo sebagai Tanfidliyah. Diantara kepengurusan NU pertama Cabang Wonosobo ada yang bernama KH. Sangidun, yang berasal dari desa Kreo Kecamatan Kejajar, ini dibuktikan dengan KTA (kartu tanda anggota) dirinya sebagi pengurus PCNU priode 1926-1933  di kantor PCNU Kabupaten Wonosobo.

KH. Sangidun merupakan satu-satunya tokoh NU pertama dari kecamatan Kejajar , yang menjadi pengurus NU priode 1926-1933. 

Rujukan


Antologi NU, H. Sulaiman Fadeli

NU studies, ahmad baso

NU Wonosobo dari masa ke masa, A. Muzan

islam bumi khayangan dieng, Nurul Mubin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar