Kreo adalah Desa yang terletak di Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa tengah. tepatnya bagian barat daya Kecamatan
Kejajar dan berbatasan dengan Kecamatan Garung. Luas wilayahnya sekitar 2,84 km
2. Di ketinggian sekitar 1400m DPL. Suhu sekitar 16⁰ C - 23⁰ C
pada siang hari, dan malam skitar 12⁰ C -
16⁰ C, dan pada musim kemarau tentunya bisa lebih
dingin.
Kreo terletak di kaki Gunung Sikudi, yang
merupakan pecahan dari letusan gunung Prahu, gunung yang berada di tengah-tengah
pulau Jawa, tetapi setelah mengalami letusan terdahsyat, gunung Prahu pecah
menjadi bukit-bukit, Pakuwaja, Sikunir, Prahu, dan Sikudi, yang menyebar di
wilayah pegunungan Dieng, dan sekarang lebih di kenal dengan gunung Dieng atau
Dataran Tinggi Dieng (dieng plateu). Karena terletak di pegunungan
mayoritas masyarakat Kreo mengandalkan mata pencahariannya sebagai petani
tembakau dan berbagai sayur-mayur musiman.
Etimologi
Kata Kreo berasal dari kata magreho yang
artinya peliharalah atau jagalah. Berdasarkan informasi tutur masyarakat, Kreo
berasal dari kata Krenyo yang berarti sembung atau kayu sembung, konon
katanya dulu di kreo banyak di tumbuhi pohon sembung. Ada yang mengatakan kata Kreo
dari bahasa arab yaitu qoryatun atau qoriyah yang berarti desa.
Dan jika benar, kata kreo berasal dari bahasa arab, maka yang memberi nama
tentu orang yang sudah mengenal islam atau mubaligh yang menyebarkan agama di
wilayah dieng. Disinyalir mereka
adalah pasukan dari Demak Bintara yang
makamnya ada di perkuburan sigelap.
Mitologi Desa Kreo
Sejarah Desa Kreo ada dua priode, Kreo purba dan
Desa Kreo saat ini. Karena pada jaman dulu Penduduk kreo bermukim di kawasan
Kreo yang di sebut Jeblugan, kemudian para penduduk bermigrasi dan membuat
permukiman di lokasi Desa Kreo yang sekarang. Desa Kreo kaya akan misteri,
dengan adanya perkuburan tua yang terletak di Sigelap, yang posisinya berada di
sekitar 1 km arah barat daya dari desa kreo saat ini. Diperkirakan perkuburan
itu sudah ada sejak tahun 700 M sampai 1500-san Masehi, pernyataan ini di
identifikasi dari cerita tutur para sesepuh desa yang mengatakan perkuburan
tersebut sebagai perkuburan hindu-budha, tetapi istilah ini hannya di gunakan
untuk majas karena saking jaman dulunya perkuburan tersebut. Karena budaya
hindu tidak mengubur, tetapi membakar mayatnya jika ada orang meninggal, di
Bali di kenal dengan istilah ngaben.
Benar tidaknya cerita tutur, yang jelas perkuburan
tersebut sudah sangat tua sekali, mengingat perkuburan Kreo yang sekarang saja
ada dua pemakaman besar yang telah menapung lebih dari limabelas generasi lebih.
Berdiri kokohnya perkuburan tua Sigelap sudah menjadi argumentasi untuk
membuktikan diri akan keberadaan masyarakat kreo purba.
Penduduk kreo jaman dulu tinggal di sekitar
cekungan sebelah barat perkuburan tua Sigelap, dimana kawasan Jeblugan
terletak, kemudian mereka bermigrasi ke kawasan Kreo yang sekarang. Hal ini
terjadi karena daerah tersebut pernah amblas, penduduk sekitar menyebutnya
jeblug atau amblas, sehingga penduduk desa bermigrasi ke arah timur laut
sekitar 1 kg dari Sigelap yang kemudian hari ini di sebut desa Kreo. Proses amblasnya
dimitoskan ketika Nyai Tabi’es yang mandi jinabat di sumber mata air jeblukan,
sehingga menyebabkan sumber mata air mati dan amblas, dan mata air tersebut
pindah ke desa gunung Tawang, Selomerto, Wonosobo yang kebetulan disana ada sumber mata air yang
bernama sumber mata air Kreo. Pindahnya mata air ini, di diriwayatkan dengan pembuktian masyarakat Kreo yang menaburi merang atau gabah kering di sumber mata airnya, dan ternyata merang itu tersedot tenggelam kedalam sumber mata air, dan membual keluar di mata air Kreo Gunung Tawang.
Para sesepuh desa meyakini kuburan tua tersebut
sudah sejak zaman Hindu, dimana masyarakat Jeblugan masih beragama Hindu dan akhirnya
kedatangan utusan dari Demak Bintoro untuk mengislamkan wilayah Dieng. Para
utusan tersebut mengambil jeblugan sebagai tempat konsentrasi dakwah dalam menyebarkan
islam bumi kayangan Dieng, sehingga bisa menundukkan Kyai Kolodete sebagai
tokoh Hindu wilayah Dieng menjadi islam, dan berbalik menjadi mubaligh yang
mengislamkan tanah Dieng.
Bukti bahwa pasukan Demak Bintara berdomisili di Jeblugan karena di perkuburan Sigelap terdapat makam tokoh-tokoh itu. Di kreo
mereka di kenal dengan para wali penyebar islam yang antara lain Mbah Pidha
Ibrahim, Syeh Belabelo, Syeh Dmiaking, Raden Santri, Kyai Jegang Jaya, Syeh Karim, Syeh Jangkung,
Nyai Ajeng rara Ayu dan lain-lain, yang kesemuanya di makamkan di perkuburan
tua sigelap. Di buku “Islam Bumi Khayangan Dieng” di jelaskan lebih
lengkap.
Tetapi informasi mengenai kuburan tua yang di
beritakan kuburan hindu ini bayak benarnya juga, jika kita runut dengan
penyebaran islam di Jawa yang dilakukan Wali Sanga sekitar tahun 1250 M sampai 1450
M, maka daerah pegunungan Dieng sudah kental dengan hindunya. Bukti kongkrit
dengan berdiri megahnya komplek Candi Dieng yang didirikan raja Wangsa Sanjaya
pada abad ke-7. Pada masa raja ke-2 yakni Sri Maha Raja Rakai Panangkaran (746
- 784 M) melarikan diri ke dieng, karena muntilan-sleman tempat singgasana
kerajaan di serang oleh Dinasti Syailendra, yang di pimpin raja bernama Bhanu. Kemudian Wangsa Sanjaya di lanjutkan Sri Maha Raja Rakai Garung yang beristana
di Dieng, sepeningal itu candi tenggelam berabad-abad karena keruntuhan kerajaan
dan penduduk berpindah agama Budha sehingga warisan Hindu di tinggalkan begitu
saja. Komplek percandian kemudian di temukan oleh tentara inggris pada tahun
1814. Mereka menemukan beberapa bagian atas candi yang terendam di dalam kubangan
air. Dan pada tahun 1856 di mulailah upaya pengeringan yang di pimpin oleh
seoarang belanda bernama Van Kinsbergen. Hingga kemudian di temukan candi-candi
yang lain di sekitarnya. Komplek candi yang merupakan tempat ibadah, berkonsekuensi logis dengan masyarakat sekitar yang religius.
Maka penduduk Jeblugan adalah salah satunya,
mereka yang notabene masyarakat religius rela melewati gunung Sikudi untuk
melakuakan ritual keagamaan di Dieng. Untuk saat sekarang, diantara perkuburan-perkuburan yang ada di seluruh
wilayah Dieng, perkuburannya penduduk jeblugan (pemakaman sigelap) merupakan satu-satunya kuburan tertua, bahkan di
Kabupaten Wonosobo. Ketika saya (penulis) diskusi dengen beberapa tokoh sejarah lokal
Dr. Nurul Mubin, M.S.I (Dosen UNSIQ penulis buku "islam bumi kayangan dieng"), dan Heri, MT yang juga Dosen UNSIQ sedang Menempuh studi S3nya di UGM
jurusan antropologi, mereka kompak mengatakan Pemakaman Jeblugan (Kreo Purba) adalah desa
tertua di Kabupaten Wonosobo dengan bukti adanya kuburan tua tersebut.
dari beberapa metode, thoriqoh adalah salah satu yang digunakan oleh mubaligh awal dalam penyebaran islam di wonosobo seperti yang tertera dalam bukunya Ahmad Muzan dari penyempurnaan tesisnya di unsiq. Ada yang menarik dari fenomena si gelap sebagai senter dakwah para utusan kesultanan demak, karena dalam bukunya Muzan tidak sama sekali menerangkan hal ini, padahal ia membahas luas sejarah masuknya islam di wonosobo beserta perkembangannya. Ataukah mungkin ada gagal paham dari riset Muzan..? saya kira dua buku itu dari karangan Pak Muzan dan Pak Mubin menjadi menarik untuk dikaji ulang.
BalasHapustapi ngomong2 adoh ya kang, seka jeblungan mata aire pindah tekan tawang selomerto.. heee (y)
sejarah bisa di buat dengan banyak tujuan tergantung pembuatnya, misalnya politik penyebaran agama, perdagangan dll,banyak sejarah yang dibumbui dengan mitos yang fungsinya untuk menakuti atau mengagumi subyek yang dimitoskan tanpa ada bukti ilmiah, banyak juga situs2 yang menerangkan bahwa jauh sebelum islam ada diwonosobo sudah ada peradaban yang sangat maju dengan tata kota yang modern. tapi saya yakin agama sebelum islam peradabanya lebih maju dari yang sekarang karena begitu banyak peninggalan yang begitu megah, misalnya candi dieng dengan metode apa yang bisa menerangkan dan menjelaskan proses pembangunan candi2 itu secara ilmiah? dengan peninggalanya yang begitu megah bisa dibayangkan betapa makmurnya masyarakat dieng pada waktu itu. just sharing bro
Hapusislam masuk indonesia tidk dengan invasi militer jadi tidak administratif, malah terkesan sambian para pedagang islam, Jadi sekali gayung dapat dua, entah yang utama dagangnya atau dakwahnya. kalau thariqatnya menurutku karena cocok saja sama akar budaya tirakat di Indonesia.
BalasHapussigelap memang blm banyak dan blm lama dikuak, P' Mubin sama pak heri yang eksplorasi, dan dh ditulis di buku "islam bumi kayangan dieng". menurutku bicara islam di zobo kudu bicara dieng, krna yang di kenal dulu diengny sbg pusat hindu, sebelum sobo di jadikan pusat administrasi olh pmerintah belanda.
kalo pindahnya mata air entah mitos atau realitas, tetapi mitologi sebagai kekayaan budaya mesti juga di arifi. kaya mitologi yunani yang tertulis rapi
nyong ban komen bae wong kie nyebut2 desane nyong gunung tawang, intine nyong hadir masbrow nanggon bloke rika haha, suwon go infone kbeh nang duwur mau, parenggggg
BalasHapus